“Jangan merayuku lagi! Aku nggak suka!”
“Tapi aku suka.”
“Galih..!!!” Buku yang kupegang spontan melayang padanya.
Dan kebodohanku yang lain adalah membiarkannya pergi. Selama lima tahun aku memutuskan komunikasi dengannya. Sekarang aku menyesal. Aku merindukannya. Aku merindukan sahabatku.
“Ada yang bisa dibantu?” tanyanya.
“Benar Galih tinggal di sini? Galih Yudhistira.”
“Kamu siapa?”
“Ami.” kataku mengulurkan tangan. “Aku temannya saat dia masih tinggal di Solo. Masih ada hubungan famili. Pamannya yang memintaku menemuinya.” kataku untuk lebih meyakinkan karena laki-laki di hadapanku ini tak mau berhenti menatapku.
“Ami?” ucapnya saat menjabat tanganku. “Amarylis…?”
Aku tersentak. Dia tahu namaku!
Aku mengangguk pelan. Lelaki itu tersenyum.
“Aku Ardi. Ayo, masuklah.” katanya mengajakku duduk di ruang tamu.
Kubuka perlahan halaman demi halaman buku tebal itu. Terasa ada yang menggenang di kelopak mataku.
“Dia fotografer yang handal kan?” suara Ardi mengejutkanku.
Aku hanya terdiam. Masih kulihat lembar demi lembar foto diriku sendiri. Aku tak pernah menyadari, Galih yang sedari dulu suka membawa kamera ke mana-mana, dan kadang suka usil mengarahkan kameranya padaku, ternyata semua foto-fotoku ada di sini. Air mataku mengalir turun. Rupanya Galih memang mencintaiku.
“Kamu bisa bawa buku itu.” kata Ardi.
“Galih mana?” tanyaku sambil menyeka air mataku.
“Galih ada proyek pemotretan di Bali selama sebulan. Baru beberapa hari lalu berangkat.”
Lemaslah aku mendengarnya.
“Kapan dia kembali?” tanyaku.
Ardi menggeleng. “Sebenarnya Galih sudah nggak kost lagi di sini sejak beberapa bulan lalu. Dia menyewa rumah di dekat tempat kerjanya. Dan buku itu tertinggal di kamarnya. Sempat kukembalikan, tapi dia nggak mau dan justru memberikannya padaku.”
Aku terdiam mendengar kata-kata Ardi. Apakah Galih ingin melupakanku?
“Kamu pulang saja. Nanti kalau aku ketemu dia, akan kukabari. Atau kuberikan nomornya saja, nanti…”
“Nggak usah.” aku memotong kata-katanya. Mungkin Galih memang ingin melupakanku. Apakah memang aku tak ditakdirkan untuk bertemu dengannya lagi? Kenapa kini aku ragu untuk menemuinya?
“Ini aku, Ami.” katanya.
“Galih, aku kangen…” kataku memeluk erat tubuhnya.
Galih tak bereaksi apapun. Dia justru melepaskan pelukanku. Kulihat tatapan matanya pun tak sehangat dulu. Ada apa denganmu, Galih?
“Ardi bilang kamu mencariku.”
Aku mengangguk.
“Pakdemu mau ketemu. Budemu juga sudah kangen.”
“Aku sudah ketemu mereka.” balasnya datar.
Galih menjaga jarak dariku. Sepertinya dia masih merasa canggung denganku.
“Aku juga kangen kamu, Galih.” kataku lirih.
“Yang aku tau, kamu marah dan nggak mau ketemu aku lagi.” ujar Galih sinis.
“Aku emosi.” jawabku cepat.
Galih menatapku.
“Aku minta maaf. Aku sebenarnya nggak bermaksud… aku memang menyinggung perasaanmu. Aku salah.”
“Butuh berapa lama buat menyadarinya?”
Aku menunduk. Aku memang terlambat menyadarinya. Saat tersadar, Galih terlanjur pindah ke kota lain. Dan bodohnya, aku tak pernah berusaha mencarinya. Kalau sekarang aku baru berani muncul, tentulah itu sudah sangat terlambat.
“Aku minta maaf, Galih. Aku bukan sahabat yang baik.”
“Masih merasa kita bersahabat?” sindirnya.
“Aku tau maaf saja nggak cukup. Tapi aku sungguh menyesal.”
“Belajarlah terima kenyataan. Kita bukan seperti dulu lagi.” tandasnya.
“Kamu nggak mau maafin aku, Ga?”
Galih tersenyum. “Aku selalu memaafkanmu, Ami. Tapi hubungan kita tetap nggak akan kembali seperti dulu lagi.”
Perlahan Galih melangkah meninggalkanku. Dia sungguh berbeda. Dia bukan Galih sahabatku dulu. Apakah memang sikap kasarku yang telah membuatnya berubah sedingin ini?
“Apa Galih yang kamu kenal memang sikapnya seperti itu, Ar?” tanyaku setelah aku menceritakan pertemuanku dengan Galih pada Ardi. Sengaja aku ingin mengorek info darinya.
“Nggak juga sih. Dia anaknya asyik. Mungkin ada sesuatu yang… kalian pernah bermasalah sebelumnya?”
“Ya, Ar. Aku menyinggung perasaan Galih.” jawabku lesu.
“Ah, kamu pernah bikin dia patah hati ya?”
“Apa?!” seruku. Bagaimana Ardi bisa menebak dengan pas? Tahukah dia yang sebenarnya terjadi?
“Kumpulan foto. Judul dengan namamu. Dan juga kedatanganmu. Bagiku cukup buat menyimpulkan.”
“Kau cukup berbahaya.” desisku.
Terdengar suara tertawa di seberang.
“Baiklah. Kita ganti topik saja. Gimana pekerjaanmu? Emm.. sebaiknya kamu ceritakan tentang dirimu dulu.”
Aku tertawa dalam hati. Lelaki ini lumayan menyenangkan. Baru beberapa kali kami berkomunikasi, rupanya dia cepat sekali mengakrabkan diri. Dan tanpa terasa aku mulai lancar bercerita padanya.
“Pakailah! Nanti kamu bisa masuk angin.”
“Kok kamu di sini, Ga?” tanyaku dengan wajah sumringah setelah mengenakan jaketnya.
“Aku lagi jalan-jalan sama…” belum selesai Galih bicara, seorang gadis menghampiri kami.
“Ami, ini Stella. Aku jalan-jalan sama dia tadi. Kebetulan ini pertama kalinya dia ke Solo. Stel, ini Ami, teman kecilku dulu.” kata Galih sambil tersenyum pada gadis di sampingnya.
Gadis itu tersenyum mengulurkan tangan. “Stella.”
“Ami.” jawabku memaksakan diri tersenyum.
“Oh, dia pacar kamu ya, Ga?” tanyaku pura-pura menggodanya. Berharap jawaban ‘tidak’ yang keluar dari mulutnya.
“Ya seperti itulah.” jawab Stella.
Galih hanya tersenyum.
Sungguh rasanya ingin pingsan saja mendengar jawaban itu. Atau siapa saja tolong aku! Aku tak ingin mendengarnya! Kenapa juga tak ada satu pun kendaraan umum yang lewat padahal ini belum terlalu malam? Aku ingin pergi. Aku ingin menghilang dari hadapan mereka. Aku sadar, aku memang telah kehilangan Galih.
“Mau jalan-jalan?” tanyanya.
“Ke mana?”
“Wis to, melu wae.” (1)
Aku tertawa mendengar jawabannya. Rupanya lama di hingar bingar ibukota membuat logat Jawanya berubah aneh.
“Stella udah balik?” tanyaku sesaat setelah kami melepas lelah sembari duduk di trotoar Jalan Slamet Riyadi yang bebas dari kendaraan bermotor setiap Minggu paginya.
Galih mengangguk.
“Kalian udah lama kenal?”
“Lumayan. Dia junior designer. Kami pernah bekerjasama dalam sebuah proyek pemotretan. Butik tempatnya bekerja yang menyediakan bajunya.”
“Kalian udah lama berhubungan?” tanyaku lirih. Menahan perih yang tiba-tiba datang. Sempat kulihat Galih menatapku.
Galih tak menjawab pertanyaanku, dia justru meraih tanganku dan mengecup pelan jemariku. Aku terperanjat. Tak mengerti apa maksud Galih melakukan ini padaku.
“Aku berencana melamarnya.”
Spontan kutarik tanganku dari genggaman Galih. Aku yakin Galih pasti menyadari keterkejutanku.
“Kamu marah?” tanyanya.
“Apa aku berhak marah?” tanyaku balik.
“Dulu kita berpisah dengan cara yang nggak menyenangkan. Atau kamu mau bilang sesuatu?”
Aku terdiam. Merasa ragu. Haruskah kukatakan? Tapi bukankah ini tujuanku mencarinya?
“Ada tiga hal.” ucapku akhirnya.
“Pertama?”
“Aku minta maaf atas kejadian lima tahun lalu.”
“Dimaafkan. Kedua?”
“Kamu tetap sahabatku.”
Galih tersenyum. “Kamu juga, Ami. Dan..?”
“Aku jatuh cinta pada sahabatku.”
Galih langsung menoleh ke arahku. Aku hanya diam tertunduk.
“Kamu tau kan aku akan melamar Stella?”
Aku mengangguk.
“Kuhargai perasaanmu, tapi…”
“Aku tau, Galih.” potongku cepat. “Aku nggak mengharapkan apa-apa. Aku hanya mau bilang kamu benar. Aku harus bisa terima kenyataan. Kamu masih mau menganggapku sahabatmu itu sudah lebih dari cukup.”
“Jangan menangis.” ucap Galih sambil menghapus air mata yang sempat menetes di wajahku.
“Kamu akan mendapatkan lelaki yang mencintaimu, Ami.” lanjutnya.
Aku hanya bisa tersenyum getir.
“Wajahmu jelek banget. Cobalah tersenyum sedikit. Mau menunjukkan kalau kamu patah hati?” komentarnya.
Gila! Bagaimana lelaki ini bisa tahu saja apa yang ada dalam benakku?
“Kamu keturunan paranormal?” balasku.
“Nah ya, benar kan tebakanku?”
Aku tersenyum masam. Di saat seperti ini memang sosok seperti Ardi lah yang aku butuhkan. Dia pandai mencairkan suasana.
Malam itu Ardi pula yang menemaniku datang. Tapi apakah tidak salah? Kalau untuk sebuah acara pertunangan kurasa terlalu minimalis dan sepi. Hanya beberapa orang yang telah hadir. Mungkin belum kali ya? Tapi aku juga belum melihat sosok Stella maupun Galih.
“Jangan tegang begitu.” ujar Ardi.
Aku mencoba tersenyum. Galih memang bukan untukku. Aku harus terima kenyataan.
“…dan selanjutnya malam hari ini saya akan mempersembahkan seluruh hati saya kepada seorang gadis…” Galih berjalan mengambil seikat bunga yang telah disiapkan di meja sudut.
Aku terhenyak. Oh tidak! Bunga itu! Kenapa harus amarylis? Galih, setega itukah kamu padaku?
Galih tersenyum pada Stella. Stella membalasnya lalu mengangguk. Galih menatapku yang hanya beberapa langkah di dekat Stella. Dia berjalan menghampiriku. Aku hanya terdiam dengan kebingungan dan kegelisahan yang menjadi. Galih menyodorkan amarylis itu ke hadapanku. Aku tak mengerti.
“Amarylis Sekar Palupi, kamu satu-satunya gadis yang kucintai. Sahabatku, mau menikah denganku?”
Aku hanya tercengang mendengarnya. Kutatap Galih dan Stella bergantian.
Stella tersenyum menghampiriku.
“Jangan sampai kamu menyesal lagi.” ucapnya.
“Tapi, Stel… Kamu…”
“Galih bukan pacarku. Yang sebenarnya pacarku adalah…” Stella langsung menggamit lengan Ardi.
Aku ternganga melihatnya.
“Semua ini skenario sahabatmu, Am. Dia ingin tau seberapa besar cintamu padanya. Dan pertunangan ini sebenarnya disiapkan buat kamu.” sambung Ardi.
Aku melotot pada Galih.
“Kamu marah?” tanyanya.
Aku langsung merebut amarylis dari tangannya.
“Aku nggak sebodoh itu membiarkanmu pergi sampai dua kali. Dasar, Galih edan!” (2)
Galih langsung memelukku. Dan kini kulihat lelaki yang kucintai itu menyematkan cincin di jari manisku.
(1) wis to, melu wae (bahasa Jawa) : sudahlah, ikut saja
(2) edan (bahasa Jawa) : gila